Penulis: Reski Batari
Based on novel: Khokkiri by Lia Indra Andriana
Aku terbangun mendengar ringtone handphoneku yang
kuletakkan di meja dekat pintu. Barusan aku tertidur di salah satu sofa yang
berada dalam ruangan khusus yang selalu aku gunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan kantorku. Kuingat bahwa aku begini karena kelelahan memikirkan dua
pria yang selama ini telah campur tangan di kehidupan asmaraku.
Aku tidak pernah membayangkan akan
dibuat pusing dengan masalah cinta yang sangat rumit di kehidupanku kelak. Aku
hanya ingin menjalani hubungan dengan wajar bersama pria yang kucintai seperti
impian wanita pada umumnya. Aneh memang, aku yang selalu yakin dengan segala
pilihan dan keputusanku mengalami dilema cinta yang tak kunjung kutemui akar
penyelesaiannya. Tapi, mengingat Richard dan Adriel yang sama-sama menaruh
harapan padaku, mau tidak mau aku memang harus menjalani hubungan asmara yang
menurutku sangat difficult.
Memang, sangat tidak mudah untuk
memilih salah satunya. Richard yang memiliki pikiran matang, kuyakini mampu
meng-handleku saat aku mulai merasa
sangat terbatas dan kehilangan arah dengan segala kondisiku. Perasaan ingin
memilikinya sangat kuat di hatiku. Aku sangat membutuhkannya, dan sangat
menginginkannya tentunya.
Sementara aku juga sangat tidak siap
kehilangan Adriel. Kupikir menyendiri dan memutuskan untuk tidak bertemu dengan
mereka selama beberapa minggu adalah solusi terbaik untuk memantapkan hatiku.
Tapi itu justru menyiksaku karena tak dapat menghilangkan kenangan selama
bersama mereka. Adriel yang kupikir kekanak-kanakan karena usianya memang lebih
muda dariku justru membuatku tercengang. Bersamanya hidupku lebih berwarna. Dia
dengan senang hati mengenalkanku dengan keindahan hidup yang kupikir tak akan
kudapatkan jika bersama Richard. Adriel yang selalu melengkungkan senyum
indahnya tiap kupanggil dia dengan kata “oppa”.
Oh, bagaimana ini? Apa yang harus
aku lakukan? Sanggupkah aku mematahkan hati salah satu di antara mereka?
Mungkin akan adil jika tidak memilih siapapun. Tapi aku yakin bukan ini yang
mereka harapkan dan tentunya juga bukan ini yang akan kulakukan.
Aku bangkit dari sofa lalu mengambil
handuk dan segera memasuki kamar mandiku. Kuharapkan berendam selama beberapa
menit akan menjernihkan pikiranku yang mulai kusut. Oh iya, tentu saja aku
ingat bahwa hari ini merupakan hari yang mereka (Richard-Adriel) tunggu. Hari
ini aku akan memilih siapa di antara meraka yang akan kujadikan pendamping
hidupku selamanya. Memikirkan itu, membuatku gelisah. Arrgghh… Mungkin lebih
baik jika aku mati saja.
***
Aku dan Adriel terdiam menunggu
kedatangan Becca. Topik pembicaraan yang kami bahas semenjak Adriel
menginjakkan kaki di apartemenku tidak mengubah suasana canggung di antara
kami. Ketegangan jelas terpancar dari raut wajah adik tiriku ini, dan sangat
kupastikan bahwa ekspresiku tidak jauh beda dengannya. Aku tidak tahu apakah
aku kelihatan egois dengan menyuruh Becca memilih salah satu di antara kami. Aku
merasa tidak wajar jika mundur dari kompetisi ini dengan alasan rela
mengorbankan perasaan demi adikku yang amat kusayangi. Aku ini tunangan Becca.
Dan kurasa jika aku memang egois, seharusnya aku tidak membiarkan Adriel ikut
dalam kompetisi ini. Tidak, tidak akan ada kompetisi. Aku berhak melarang
Adriel meminta Becca untuk mempertimbangkan perasaannya. Karena sejak awal Becca
memang milikku.
Tapi itu tak akan mungkin kulakukan,
karena Adriel adalah satu-satunya saudara laki-laki yang aku punya.
Satu-satunya keluarga yang kuharapkan akan menemaniku bekerja sama untuk
membangun kembali keluarga yang telah rapuh setelah kepergian ayahku. Dan
bagaimana bisa aku memutuskan seuatu tanpa pertimbangan dari Becca?. Becca yang
selama ini kelihatan bimbang dengan perasaanya.
Aku dapat melihat pancaran mata Becca
jika menatap Adriel. Sesuatu yang tak ingin kuakui tapi memang benar adanya
bahwa Becca juga menyukai Adriel. Becca akan terlihat nyaman jika bersama
Adriel. Bukan berarti jika bersamaku dia merasa tidak nyaman. Itu tidak
mungkin, karena Becca sendiri yang mengaku bahwa dia sangat nyaman bila bersama
denganku, katanya aku begitu melindunginya. Tapi ini konteks “kenyamanan”
dengan arti yang sulit kujelaskan. Huff… memikirkan zona kenyamanan ini semakin
membuatku pusing. Intinya aku tak boleh gegabah menekan Becca untuk memilihku
hanya karena pertimbangan perbandingan waktuku dengan Adriel mengenal Becca
menjadikanku lebih unggul. It’s not fair
man!
Suara sol sepatu membuatku tersadar
dengan keberadaan Becca di ruangan ini. Becca yang mengenakan kaos bergambar
gajah besar dengan dipadukan celana denim sebagai bawahannya membuatnya
terlihat segar dan santai. Betapa aku ingin memeluknya, tapi keinginan kuat itu
segera kuabaikan demi menjaga perasaan Adriel yang melihat Becca dengan tatapan
memuja. Akhirnya, aku hanya bisa menyapa dengan kata…
“ Apa kabar?” Sumpah! Aku tak pernah
secanggung ini dalam situasi apapun.
“ Baik.” ucapnya lirih.
“Ayo duduk!” aku menuntun Becca duduk di sofa bersamaku, dengan Adriel
yang duduk di hadapan kami.
“Annyeong?
Oraenmanieyo oppa” Becca menyapa Adriel yang sedari tadi hanya berperan
sebagai penonton. Aku memang tidak tahu menahu tentang bahasa Korea, tapi jika
sebatas kalimat yang diucapkan Becca tadi, aku tahu kalau itu merupakan sapaan
untuk Adriel. Jelas, karena Becca tidak mungkin menyapaku dengan bahasa yang
tidak kumengerti.
“
Hm. Ne, oraenmanieyo.” Selanjutnya
terjadi percakapan di antara mereka yang tidak mungkin kupahami.
Aku memang membenci di saat-saat seperti ini.
Melihat mereka menggunakan bahasa itu membuatku dongkol. Mereka terlihat sangat
akrab jika berbicara dengan menggunakan bahasa Negara yang digilai para gadis
zaman sekarang. Apalagi jika Becca mulai memanggil Adriel dengan sebutan oppa. Mengapa juga Becca memanggilnya
dengan sebutan itu? Padahal jelas-jelas Becca lebih tua dibandingkan Adriel.
Apakah Adriel yang meminta untuk dipanggil oppa?
Atau Becca sendiri yang berinisiatif agar makin terjalin keakraban di antara
mereka?
“ Geuraeyo.”
Suara Becca menyadarkanku. Mereka membahas apa saja tadi? Ah, seandainya aku
lebih memilih mendengarkan mereka berbicara mungkin aku bisa menyumbangkan
suara dalam percakapan ini. Tapi bagaimana mungkin aku ikut menyumbang sementara
bahasanya saja tidak kumengerti?
“ Bisakah kalian menggunakan bahasa Indonesia saja
saat bersamaku?” tanyaku dengan nada tak bersahabat.
“ Maaf…” kata Becca dengan mimik menyesal.
“ Ok! Bisakah kita ke inti masalah sekarang?”
tanyaku tak sabaran.
“ Hyeong!
Kita bisa membicarakan hal itu nanti.” Aku tahu Adriel hanya mencoba bersikap
tenang. Tidak mungkin dia bisa tenang di saat seperti ini. Mendesak Becca agar
menentukan pilihannya kurasa lebih bijaksana dibandingkan membawanya lari agar
jauh-jauh dari Adriel.
“ Tidak, aku tidak ingin nanti. Aku ingin Becca
mengatakannya sekarang. Aku akan menghargai apapun keputusannya. Aku harus
terima jika memang Becca tak
menginginkanku lagi.” Sekuat tenaga aku mengatakan semua itu.
“ Richard! Apa yang kamu katakan? Aku tidak pernah berpikir
untuk tidak menginginkanmu. Aku selalu memikirkanmu setiap hari, berharap bahwa
cinta kita akan selalu bertahan seperti yang kita inginkan selama ini. Jadi
bagaimana mungkin kamu mempunyai pikiran seperti itu?” jawabnya tak terima
dengan tuduhanku.
“ Jadi kamu memilihku?” Aku mengutuk diriku sendiri,
kenapa aku tidak bisa tenang dan sabar sedikit saja?
“ Masalahnya tidak semudah itu Richard, kamu tahu
itu.” Becca mengabaikan pertanyaanku.
“ Hyeong,
bisakah kita memberikan Becca waktu untuk berpikir?” Adriel mulai merasa
keresahanku.
“ Tidak lagi.
Aku sudah hampir gila dengan absennya di tiap hariku. Aku sudah lelah dengan
keadaan yang nampak tidak jelas, sementara kita tahu bahwa keadaan sebenarnya
cukup jelas. Becca adalah tunanganku, artinya dia milikku.” Aku sudah tidak
tahan dengan situasi seperti ini. Akan kuakhiri jika aku bisa. Tapi sekuat
apapun usahaku, itu akan sia-sia karena hanya Becca yang berhak menentukan
akhir dari cerita cinta segitiga ini. Memikirkannya aku tersenyum miris.
Kisahku seperti cerita sinetron yang sering ditonton oleh mama secara rutin,
dengan aku sebagai salah satu tokoh utamanya.
“ Hyeong,
aku minta maaf jika kehadiranku membuat hubunganmu dengan Becca seperti ini.
Aku tahu dari awal akulah yang salah dengan seenaknya masuk di kehidupan
kalian. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengontrolnya hyeong. Aku tidak dapat menahan perasaanku, dan sebelum kusadari
bahwa kamulah tunangan Becca, aku sudah terlalu jauh. Sudah sangat jauh untuk
menarik kembali perasaanku ini.” kata Adriel dengan sungguh.
“ Richard, aku benar-benar menyesal. Sesungguhnya
aku juga tidak menginginkan situasi seperti ini. Tanpa kusadari Adriel
memberikan warna lain di kehidupanku, dan aku tak dapat mengelak. Aku menyukai
setiap kebersamaanku dengannya. Sama ketika kita bersama, aku juga merasakan
bahagia bila di dekatnya.” Mata Becca mulai memerah.
“ Tapi kita tidak bisa terus-terusan seperti ini.
Tanpa kejelasan, ini konyol namanya.” kataku dengan suara keras.
Selanjutnya aku mulai melihat Becca menangis
sesegukan. Dari sudut mataku dapat kulihat Adriel beranjak dari sofa yang ia
duduki kemudian mendekat ke arah Becca. Tapi aku lebih cepat merangkul bahu
gadisku lalu membenamkan wajahnya ke dadaku. Tak akan kubiarkan poin Adriel bertambah
di mata Becca.
“ Richard, maafkan aku… maafkan.. aku…” Kuingin
memukul diriku sendiri yang menyebabkan Becca menangis karenaku.
Aku mengusap-usap punggung Becca, mencoba
menenangkannya. Meskipun aku ingin memilikinya, tapi aku juga tak ingin melihatnya
menangis seperti ini. Menangisi dua pria kakak beradik yang sama-sama
mencintainya. Astaga! pesona apa yang dipancarkan Adriel sehingga membuat Becca
ragu untuk memilihku. Bukannya sombong, tapi Becca memang pernah mengatakan
bahwa dia sangat bahagia bersamaku, ditambah dengan kebersamaan kami selama ini
tak dapat dibandingkan dengan hari-hari yang ia lalui bersama Adriel. Tapi
sekali lagi, ini bukan masalah waktu. Hanya saja cinta memang kadangkala
membuat keadaan menjadi rumit.
“ Richard, I
love you.” kata Becca setelah agak tenang.
“ I know.”
Meskipun nada Becca sama sekali tidak menunjukkan sedang menunggu jawaban. Tapi
aku yakin, dia ingin aku tahu bahwa dia mencintaiku.
***
“ Richard, I
love you.”
“ I know”
Kalimat itu begitu menusukku. Sejak awal aku sudah
tahu, kalau Becca tak akan mungkin memilihku. Melepaskan hubungan yang sudah
lama terjalin itu tidak mudah, apalagi jika dibandingkan dengan hubungan tanpa
status yang belum tentu akan berlanjut ke tingkat yang serius. Tapi, aku mencoba
untuk mengharapkannya, karena memang tak ada pilihan. Seperti yang kukatakan
tadi, aku tak dapat mengontrol perasaanku terhadap Becca.
Tak pernah kusangka, gadis yang belum lama kukenal
tapi mampu mengambil hatiku ini memberikanku sinyal bahwa cintaku tidak
bertepuk sebelah tangan. Meskipun dia tidak mengucapkan kalimat sakral itu,
tapi aku tahu kalau dia juga mecintaiku. Dengan seketika aku menaruh harapan
untuk menjalani hubungan serius dengannya, membayangkan kehidupan indah di masa
depan bersamanya. Tapi seketika itu juga
semua anganku musnah karena Becca telah memiliki tunangan yang tidak lama lagi
akan menikahinya, dan sialnya orang yang beruntung itu adalah kakak tiriku,
keluargaku satu-satunya.
Aku memang belum pernah memiliki hubungan spesial dengan
gadis selama aku hidup. Meskipun beberapa teman sekolahku dulu pernah
mengajakku kencan, tapi aku tak pernah menanggapinya. Itu karena aku adalah
anak tunggal yang ditinggalkan oleh ayah, sehingga aku adalah satu-satunya
harapan Ibuku untuk memerbaiki kelangsungan hidup. Jadi aku tak punya waktu
untuk memikirkan masalah percintaan anak remaja yang mulai tenar di masaku.
Sayangnya belum sempat aku menunjukkan keberhasilanku
pada Ibuku, beliau telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Dengan bermodal
peninggalan catatan harian Ibuku, aku menemukan alamat ayahku dan keluarganya
di Indonesia. Segera kutinggalkan Seoul kemudian menuju Jakarta dengan uang
hasil part time-ku selama kuliah.
Di Jakarta, Richard yang kuketahui adalah kakakku menerimaku
dengan tangan terbuka tanpa mempermasalahkan statusku. Beda dengan ibu dan
kakak perempuannya yang memandangku seakan aku adalah virus yang akan
menularinya jika tidak menjauh dariku. Namun hal itu kuanggap wajar karena
memang kuakui bahwa aku adalah anak hasil dari perselingkuhan ayahnya.
Selanjutnya kujalani hari dan mulai menikmati
pekerjaanku sebagai photographer berkat
bantuan Richard. Dan di sinilah aku bertemu dengan Becca yang bekerja sebagai freelance di kantor tempatku bekerja.
Kedekatanku dengannya mulai terjalin hingga tumbuh benih-benih cinta yang sulit
kuabaikan. Hidupku terasa lengkap dengan adanya Becca di sampingku.
Kini semua angan itu telah kukubur rapat-rapat. Melihat
Becca tersiksa dengan perasaanya, membuatku semakin pedih. Aku harus merelakan
sesuatu yang memang dasarnya bukan milikku.
Kulangkahkan kakiku menjauh dari mereka,
meninggalkan Becca yang masih terisak dipelukan Richard. Kutahan sekuat mungkin
agar tidak berbalik arah, karena jika sampai itu terjadi, aku tidak dapat
menjamin untuk tidak menarik Becca lalu melarikannya sejauh mungkin hingga
Richard tak dapat memutuskan tali cinta kami.
Inikah akhir kisahku? Cinta pertamaku tak dapat
kuraih, tak dapat kupertahankan untuk berada di sisiku. Perih, lebih perih
dibandingkan kenyataan yang harus kuterima bahwa aku lahir sebagai anak haram.
Lebih pedih saat kutahu bahwa ayahku meninggalkanku dan memilih bersama
keluarganya kembali. Oh, apakah semua orang memang selalu berpihak pada
Richard? Baik itu ayah maupun Becca?
Aku menyusuri lorong apartemen dengan langkah
gontai, berusaha agar tidak ambruk di lantai. Aku harus mencoba terbiasa tanpa
Becca di sekitarku. Ya, dengan terbiasa aku akan bisa melupakannya. Tiba-tiba aku
sangsi dengan tekadku ini. Bisakah aku hidup tanpa tawa Becca? Tanpa sikap
malu-malunya yang membuatku ingin terus menggodanya? Ya Tuhan, aku benar-benar
bisa mati.
“ Oppa”
kudengar suara merdu itu. Tidak, tidak mungkin Becca ada di belakangku. Tidak
mungkin Becca mengejarku dengan mengabaikan Richard. Itu tidak mudah baginya.
“ Oppa, kajima!”Aku
memalingkan wajah ke sumber suara itu. Benar, Becca ada di sana, tak jauh dari
tempatku berdiri. Aku hanya bisa mematung menatapnya. Dapat kurasakan
ketidaksabaran Becca karena detik berikutnya dia berlari ke arahku lalu
memelukku erat.
“ Oppa,
kajima! kajima!” bahunya bergetar di pelukanku.
“ Mwohaneungoya?”
tanyaku tak mengerti dengan situasi ini.
“ Oppa,
aku tidak ingin kau pergi, aku ingin kau tetap ada di sisiku, bersamaku seperti
dulu. Aku mohon jangan pergi!” katanya dengan terburu-buru.
“ Nongdamhajima!
Bagaimana dengan hyeong?” tanyaku yang masih diliputi dengan kebingungan.
Bagaimana mungkin Richard rela melepaskan Becca begitu saja?
“ Aku tidak bercanda oppa. Richard sendiri yang memintaku melakukan ini.”
“ Tapi kenapa? Maksudku, aku tahu kau mencintai
Richard. Dan Richard mencintaimu. Mata kalian dapat menjelaskannya.” tanyaku bingung.
“ Tapi aku memilihmu oppa. Aku menyadari kalau aku membutuhkamu lebih dari apapun.
Meskipun aku memang masih mencintai Richard, tapi aku juga tak ingin
kehilanganmu. Aku mencintaimu, teramat mencintaimu. Aku tidak tahu alasan logis
lain selain dari ini. Jadi kumohon, berhenti menanyakan sesuatu yang tidak
kumengerti. Aku mencintaimu oppa,
hanya itu alasanku.” Jelasnya dengan tatapan sungguh-sungguh.
“ Kau mencintaiku?” aku melepaskan pelukanku lalu
memandangnya meminta kepastian.
“ Ya, aku mencintaimu.” Matanya menatapku
lekat-lekat.
“ Hanboman!”
pintaku
“ Saranghae,
saranghae oppa.” Segera kutarik Becca lalu kupeluk kembali. Tak akan
kulepas meskipun dia memintaku.
“ Dia lebih mencintaimu” kulihat Richard yang
berdiri di belakangku. Mungkinkah dia mendengar semuanya?
“ Aku mencintai Becca, tapi aku tak ingin memaksanya
untuk hidup bersamaku jika dia memang
tak bisa.” Hanya itu yang dapat Richard katakan. Aku tahu dia sangat kecewa
dengan ending seperti ini, tapi aku
tak akan melepas Becca lagi untuknya.
“ Hyeong,
terima kasih.” kataku dengan tulus.
Richard hanya menatapku dengan ekspresinya yang
datar, lalu meninggalkanku dan Becca yang masih memelukku. Maaf hyeong, aku tahu perasaanmu terluka,
tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena Becca juga sangat berharga bagiku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar