.......
Setelah mendapatkan laporan dari sang Daisanzeki-nya, Ishiin langsung pergi meninggalkan Soul Society tanpa pikir panjang. Tak perlu waktu yang lama baginya untuk menapakkan kakinya di dunia manusia. Dia hanya perlu menggunakan Senkaimon, gerbang antara dunia manusia dan dunia roh. Seorang taichou seperti dirinya, sangatlah gampang membuka gerbang penyekat dua dunia itu.
Di Dunia manusia. Kota Naruki, terlihat cahaya matahari yang dipantulkan oleh sang bulan tak terlihat begitu terang malam itu. Kepulan-kepulan awan perlahan mulai menyatu satu sama lain, menandakan hujan akan segera mengguyur bumi itu.
"Mulai berawan..." Ucap satu dari dua shinigami yang sedang mendapatkan tugas berjaga di sana.
Suara yang tak keras kemudian menimpalinya. "Perasaanku tak enak. Dua orang yang ditugaskan di sini sebelumnya tewas saat hujan malam-malam. Mengerikan." terdengar begitu cemas dibalik ucapannya. Entah, sepertinya dia merasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan yang tersembunyi dibalik awan hitam itu.
"Jangan bilang begitu..."
"Begitu. Jadi hujan cukup berbahaya?" Suara lelaki tiba-tiba memotong pembicaraan kedua shinigami itu.
"Uwaaah!!." Kedua kaget melihat sosok shinigami berhaori tetiba datang menghampiri mereka. "Shi-shi-shiba-taichou!!!"
"Informasi yang bagus!." Jawab Ishiin santai. "Jadi aku datang di saat yang tepat."
"Ke-ke-kenapa?!"
"Syukurlah kalau tak sia-sia."
" Kenapa anda ke sini?!"
"Hm? Oh. Aku tadi mencari kamar mandi tapi malah tersesat..."
" Kibulan macam apa itu?!"
"Malam ini. Kalau ternyata hujan, kalian berdua pulang saja. Aku mau pipis sendirian."
Kedua tak menjawab. Hanya tercengang mendengar ucapan sang Juubantai Taichou itu, seolah otak mereka tak bisa membaca apa yang ada didalam pikiran sang taichou yang baru datang itu. Masih terdiam, tak ada yang berbicara. Namun, tetap saja tak ada yang menyadari kehadilan sesosok samar yang berada di balik kepulan awan hitam itu.
Ssssst. Dalam sekejap mata, sosok itu menghilang. Seperti shunpo yang dimilik oleh para shinigami. Sosok itu telah tak melayang di sana, telah berpindah tempat. Mereka masih belum menyadari kehadirannya, belum.
Di tempat lain. Kota Karakura, sebuah kota dengan kepadatan yang cukup tinggi di antara kota-kota yang berada di wilayah itu. Terletak tepat di samping Kota Naruki. Di waktu yang sama, di sebuah rumah besar, kediaman keluarga Ishida.
"Bagaimana sekolahnya?" Sebuah suara terdengar dari ruang makan di salah satu ruangan dalam rumah besar itu. "Masaki-san."
Seorang anak perempuan hanya tercengang mendengar pertanyaan itu. Mulutnya menghentikan mengunyah santapan malam yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulutnya.
"Ah... aku? Emm... Iya!." Jawabnya sambil mengunyah makanan pada akhirnya. "Aku naik kereta tiap hari, tante!"
"Yang kutanya bagaimana sekolahmu, bukan bagaimana keadaanmu."
" Sekolahnya. Ah! Aku baru tahu ternyata bisa dapat acar dan daun kol gratis untuk makan siang..."
"Cukup. Ceritakan bagaimana kemajuan "Pelatihan Suci"?" Pertanyaannya kali ini benar-benar terdengar serius.
Perempuan berambut cerah itu mengerti keadaannya. Wajahnya mulai menunduk ketakutan. "Pelatihannya. Yah... Sedikit demi sedikit... sedang kulakukan...."
"Apa maksudmu "sedikit demi sedikit"?!!." Teriak perempuan itu tiba-tiba. Dia merasa tak puas dengan jawaban perempuan di depannya.
"Maaf!!!"
"Apa kau sadar statusmu?!" Ucap sang tante dengan nada yang lebih tinggi. "Karena kau tidak punya saudara dan orang tuamu sudah meninggal. Kau adalah satu-satunya anggota terakhir keluarga Kurosaki!! Kau sudah kami perbolehkan untuk dibesarkan sebagai Quincy!!"
"Iya, aku tahu. Daging ini enak. Hehehe..."
"Kau..."
"Bu!." Suara laki-laki dari balik pintu menimpal. " Mohon hentikan. "
Seorang pemuda berkacamata masuk ke ruang makan itu. Pakaiannya begitu rapi sesuai dengan ramput putih yang tersisir sempurna. Kelakuannya sangat terjaga, seolah dirinya memang telah dididik untuk bertingkah layaknya seorang bangsawan. "Suara ibu terdengar sampai ke luar."
"Aku mau ke kamar. Makananmu sudah kusiapkan. Kalau sudah selesai, bilang Katagiri untuk merapikan." Sang ibu, kemudian beranjak dari tempat duduknya. Dia mengerti tak akan ada baiknya untuk memulai sesuatu yang tidak baik dengan putranya.
"Ayah bagaimana?"
"Dia di Funfte Feld. Aku juga mau tahu kapan dia kembali."
Ruangan itu terdengar begitu sunyi sesaat setelah kepergian sang ibu.
"Masaki..." Ucap sang pemuda berkacamata itu memulai pembicaraannya. "Maafkan ibuku. Beliau kesepian dan melepaskan amarahnya padamu.." Matanya terlihat begitu sayu dibalik lensa bening yang selalu membantu penglihatannya. Wajahnya terlihat benar-benar menyesal dengan apa yang terjadi pada perempuan di depannya itu.
"Apa maksudmu, Ryuu-chan? Maaf untuk apa? Aku tak marah, kok!." Jawab Masaki ceria."Jangan khawatir, Ryuu-chan!"
Gadis muda ini pun beranjak dari tempat duduknya dan berlari meninggalkan ruangan itu.
"Terima kasih makanannya! Aku mau ke kamarku! Ah! Udang gratin hari ini enak. Kalau kau tak mau nanti kumakan bagianmu. Daaah!!."
"Tuan muda." Ucap seorang pelayan dengan penuh hormat. "Makanannya sudah siap. Boleh saya siapkan mejanya?"
"Ya. Tolong siapkan." Jawab Ryuuken tak kalah sopan. Namun, seperti ada sesuatu dalam kepalanya yang dia pikirkan.
"Katagiri"
Pelayan itu hanya mengiyakan panggilan sang tuannya. Apa yang ingin dilakukan oleh seorang pelayan bila bukan merendah hormat di hadapan sang tuan.
"Masaki...Dia tahu ibu membiarkannya diangkat di keluarga Ishida cuma demi tujuan menjaga kemurnian darah Quincy kami." Cerita Ryuuken.
"Apakah ibunda bicara dengannya soal itu?"
"Menurutmu dia tak akan sadar?" Jawab Ryuuken. "Dia bukan orang bodoh. Aku tidak yakin dia akan bahagia menikah denganku."
" Tuan muda..." Ucap sang pelayan pelan. "Menurut tuan muda, pernikahan di antara Quincy seharusnya karena cinta. Baik sekali. Saya yakin kebaikan hati anda akan membuat Masaki-sama bahagia."
"Bodoh. Kenapa kau bilang aku baik? Aku ingin Masaki bahagia, karena kalau kita tak bahagia, kita tak akan bisa melihat masa depan dengan baik. Bukan masa depan kita. Tapi masa depan Quincy."
Kedua kembali terdiam. Hingga benar-benar tak ada diantara keduanya yang memulai pembicaraan kembali.
Kembali ke Kota Naruki. Sesuai dengan perkiraan, awan hitam itupun mulai menjatuhkan tetesan-tetesan air ke tanah dengan begitu derasnya. Kedua shinigami yang bertugas tadi telah bersembunyi tak jauh dari tempat sang Shiba Taichou yang berdiri di atap bangunan.
"Bagaimana ini? Katanya tadi kita lebih baik pulang...." Ucap salah satu diantara kedua shinigami itu.
"Tolol! Pulang ke Soul Society?! Yang benar saja!." Bentak yang lain. "Kita bisa sembunyi saja di sini. Taichou pasti akan mengurusi sisanya."
Di atas atap, Pemuda Shiba itu hanya terdiam, menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. "Kalau mereka menyerang shinigami, bisa jadi dua hal: shinigami memang incaran utama mereka, atau sebenarnya mereka cuma terpancing dari reiatsu shinigami yang kuat... kalau begitu aku bisa memancing mereka dengan reiatsu...."
Dan...
Seketika Taichou divisi sepuluh itu meningkatkan Reiatsunya ke titik yang begitu pekat. Hingga kedua shinigami yang cukup jauh itu merasakan dengan begitu jelas pekatnya reiatsu sang kapten. Seolah tubuh mereka ada yang menekan ke bawah.
"Wow!! Ini reiatsu Shiba-taichou?!."
"Wuah?!."
Namun, tiba-tiba suara mereka menghilang, bersamaan dengan reiatsu mereka yang ikut lenyap dilelap malam. Pemuda Shiba itu menyadari sesuatu dari tempat itu. Tapi, sebelum dia melangkahkan kakinya lebih dekat, sesosok makhluk seperti manusia muncul begitu saja di belakangnya. Berambut panjang, sebuah topeng dengan tanduk yang mejulur ke depan menghiasi kepalanya. Sebuah lubang yang terdapat di dadanya sebenarnya telah menunjukkan bahwa makhluk itu adalah seekor hollow. Walau begitu, Sang taichou masih belum yakin apa yang sedang dia lihat sekarang.
"Apa itu...?!"
__________ Trans : Xaliber [English : Mangapanda,]
___________ Deskrip : Angoez.
Setelah mendapatkan laporan dari sang Daisanzeki-nya, Ishiin langsung pergi meninggalkan Soul Society tanpa pikir panjang. Tak perlu waktu yang lama baginya untuk menapakkan kakinya di dunia manusia. Dia hanya perlu menggunakan Senkaimon, gerbang antara dunia manusia dan dunia roh. Seorang taichou seperti dirinya, sangatlah gampang membuka gerbang penyekat dua dunia itu.
Di Dunia manusia. Kota Naruki, terlihat cahaya matahari yang dipantulkan oleh sang bulan tak terlihat begitu terang malam itu. Kepulan-kepulan awan perlahan mulai menyatu satu sama lain, menandakan hujan akan segera mengguyur bumi itu.
"Mulai berawan..." Ucap satu dari dua shinigami yang sedang mendapatkan tugas berjaga di sana.
Suara yang tak keras kemudian menimpalinya. "Perasaanku tak enak. Dua orang yang ditugaskan di sini sebelumnya tewas saat hujan malam-malam. Mengerikan." terdengar begitu cemas dibalik ucapannya. Entah, sepertinya dia merasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan yang tersembunyi dibalik awan hitam itu.
"Jangan bilang begitu..."
"Begitu. Jadi hujan cukup berbahaya?" Suara lelaki tiba-tiba memotong pembicaraan kedua shinigami itu.
"Uwaaah!!." Kedua kaget melihat sosok shinigami berhaori tetiba datang menghampiri mereka. "Shi-shi-shiba-taichou!!!"
"Informasi yang bagus!." Jawab Ishiin santai. "Jadi aku datang di saat yang tepat."
"Ke-ke-kenapa?!"
"Syukurlah kalau tak sia-sia."
" Kenapa anda ke sini?!"
"Hm? Oh. Aku tadi mencari kamar mandi tapi malah tersesat..."
" Kibulan macam apa itu?!"
"Malam ini. Kalau ternyata hujan, kalian berdua pulang saja. Aku mau pipis sendirian."
Kedua tak menjawab. Hanya tercengang mendengar ucapan sang Juubantai Taichou itu, seolah otak mereka tak bisa membaca apa yang ada didalam pikiran sang taichou yang baru datang itu. Masih terdiam, tak ada yang berbicara. Namun, tetap saja tak ada yang menyadari kehadilan sesosok samar yang berada di balik kepulan awan hitam itu.
Ssssst. Dalam sekejap mata, sosok itu menghilang. Seperti shunpo yang dimilik oleh para shinigami. Sosok itu telah tak melayang di sana, telah berpindah tempat. Mereka masih belum menyadari kehadirannya, belum.
Di tempat lain. Kota Karakura, sebuah kota dengan kepadatan yang cukup tinggi di antara kota-kota yang berada di wilayah itu. Terletak tepat di samping Kota Naruki. Di waktu yang sama, di sebuah rumah besar, kediaman keluarga Ishida.
"Bagaimana sekolahnya?" Sebuah suara terdengar dari ruang makan di salah satu ruangan dalam rumah besar itu. "Masaki-san."
Seorang anak perempuan hanya tercengang mendengar pertanyaan itu. Mulutnya menghentikan mengunyah santapan malam yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulutnya.
"Ah... aku? Emm... Iya!." Jawabnya sambil mengunyah makanan pada akhirnya. "Aku naik kereta tiap hari, tante!"
"Yang kutanya bagaimana sekolahmu, bukan bagaimana keadaanmu."
" Sekolahnya. Ah! Aku baru tahu ternyata bisa dapat acar dan daun kol gratis untuk makan siang..."
"Cukup. Ceritakan bagaimana kemajuan "Pelatihan Suci"?" Pertanyaannya kali ini benar-benar terdengar serius.
Perempuan berambut cerah itu mengerti keadaannya. Wajahnya mulai menunduk ketakutan. "Pelatihannya. Yah... Sedikit demi sedikit... sedang kulakukan...."
"Apa maksudmu "sedikit demi sedikit"?!!." Teriak perempuan itu tiba-tiba. Dia merasa tak puas dengan jawaban perempuan di depannya.
"Maaf!!!"
"Apa kau sadar statusmu?!" Ucap sang tante dengan nada yang lebih tinggi. "Karena kau tidak punya saudara dan orang tuamu sudah meninggal. Kau adalah satu-satunya anggota terakhir keluarga Kurosaki!! Kau sudah kami perbolehkan untuk dibesarkan sebagai Quincy!!"
"Iya, aku tahu. Daging ini enak. Hehehe..."
"Kau..."
"Bu!." Suara laki-laki dari balik pintu menimpal. " Mohon hentikan. "
Seorang pemuda berkacamata masuk ke ruang makan itu. Pakaiannya begitu rapi sesuai dengan ramput putih yang tersisir sempurna. Kelakuannya sangat terjaga, seolah dirinya memang telah dididik untuk bertingkah layaknya seorang bangsawan. "Suara ibu terdengar sampai ke luar."
"Aku mau ke kamar. Makananmu sudah kusiapkan. Kalau sudah selesai, bilang Katagiri untuk merapikan." Sang ibu, kemudian beranjak dari tempat duduknya. Dia mengerti tak akan ada baiknya untuk memulai sesuatu yang tidak baik dengan putranya.
"Ayah bagaimana?"
"Dia di Funfte Feld. Aku juga mau tahu kapan dia kembali."
Ruangan itu terdengar begitu sunyi sesaat setelah kepergian sang ibu.
"Masaki..." Ucap sang pemuda berkacamata itu memulai pembicaraannya. "Maafkan ibuku. Beliau kesepian dan melepaskan amarahnya padamu.." Matanya terlihat begitu sayu dibalik lensa bening yang selalu membantu penglihatannya. Wajahnya terlihat benar-benar menyesal dengan apa yang terjadi pada perempuan di depannya itu.
"Apa maksudmu, Ryuu-chan? Maaf untuk apa? Aku tak marah, kok!." Jawab Masaki ceria."Jangan khawatir, Ryuu-chan!"
Gadis muda ini pun beranjak dari tempat duduknya dan berlari meninggalkan ruangan itu.
"Terima kasih makanannya! Aku mau ke kamarku! Ah! Udang gratin hari ini enak. Kalau kau tak mau nanti kumakan bagianmu. Daaah!!."
"Tuan muda." Ucap seorang pelayan dengan penuh hormat. "Makanannya sudah siap. Boleh saya siapkan mejanya?"
"Ya. Tolong siapkan." Jawab Ryuuken tak kalah sopan. Namun, seperti ada sesuatu dalam kepalanya yang dia pikirkan.
"Katagiri"
Pelayan itu hanya mengiyakan panggilan sang tuannya. Apa yang ingin dilakukan oleh seorang pelayan bila bukan merendah hormat di hadapan sang tuan.
"Masaki...Dia tahu ibu membiarkannya diangkat di keluarga Ishida cuma demi tujuan menjaga kemurnian darah Quincy kami." Cerita Ryuuken.
"Apakah ibunda bicara dengannya soal itu?"
"Menurutmu dia tak akan sadar?" Jawab Ryuuken. "Dia bukan orang bodoh. Aku tidak yakin dia akan bahagia menikah denganku."
" Tuan muda..." Ucap sang pelayan pelan. "Menurut tuan muda, pernikahan di antara Quincy seharusnya karena cinta. Baik sekali. Saya yakin kebaikan hati anda akan membuat Masaki-sama bahagia."
"Bodoh. Kenapa kau bilang aku baik? Aku ingin Masaki bahagia, karena kalau kita tak bahagia, kita tak akan bisa melihat masa depan dengan baik. Bukan masa depan kita. Tapi masa depan Quincy."
Kedua kembali terdiam. Hingga benar-benar tak ada diantara keduanya yang memulai pembicaraan kembali.
Kembali ke Kota Naruki. Sesuai dengan perkiraan, awan hitam itupun mulai menjatuhkan tetesan-tetesan air ke tanah dengan begitu derasnya. Kedua shinigami yang bertugas tadi telah bersembunyi tak jauh dari tempat sang Shiba Taichou yang berdiri di atap bangunan.
"Bagaimana ini? Katanya tadi kita lebih baik pulang...." Ucap salah satu diantara kedua shinigami itu.
"Tolol! Pulang ke Soul Society?! Yang benar saja!." Bentak yang lain. "Kita bisa sembunyi saja di sini. Taichou pasti akan mengurusi sisanya."
Di atas atap, Pemuda Shiba itu hanya terdiam, menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. "Kalau mereka menyerang shinigami, bisa jadi dua hal: shinigami memang incaran utama mereka, atau sebenarnya mereka cuma terpancing dari reiatsu shinigami yang kuat... kalau begitu aku bisa memancing mereka dengan reiatsu...."
Dan...
Seketika Taichou divisi sepuluh itu meningkatkan Reiatsunya ke titik yang begitu pekat. Hingga kedua shinigami yang cukup jauh itu merasakan dengan begitu jelas pekatnya reiatsu sang kapten. Seolah tubuh mereka ada yang menekan ke bawah.
"Wow!! Ini reiatsu Shiba-taichou?!."
"Wuah?!."
Namun, tiba-tiba suara mereka menghilang, bersamaan dengan reiatsu mereka yang ikut lenyap dilelap malam. Pemuda Shiba itu menyadari sesuatu dari tempat itu. Tapi, sebelum dia melangkahkan kakinya lebih dekat, sesosok makhluk seperti manusia muncul begitu saja di belakangnya. Berambut panjang, sebuah topeng dengan tanduk yang mejulur ke depan menghiasi kepalanya. Sebuah lubang yang terdapat di dadanya sebenarnya telah menunjukkan bahwa makhluk itu adalah seekor hollow. Walau begitu, Sang taichou masih belum yakin apa yang sedang dia lihat sekarang.
"Apa itu...?!"
__________ Trans : Xaliber [English : Mangapanda,]
___________ Deskrip : Angoez.
By Indonesia Bleach
Tidak ada komentar:
Posting Komentar